Jangan Salahkan Tuhan
Pada suatu hari seorang bijaksana dan tukang cukur berjalan melalui
daerah kumuh disebuah kota. Tukang cukur berkata kepada si bijak:"Lihat,
inilah sebabnya saya tidak dapat percaya ada Tuhan yang penuh
kasih. Jika Tuhan itu baik sebagaimana yang engkau katakan, Ia
tidak akan membiarkan semua kemiskinan, penyakit, dan kekumuhan
ini. Ia tidak akan membiarkan orang-orang ini terperangkap ketagihan
obat dan semua kebiasaan yang merusak watak. Tidak, saya tidak
dapat percaya ada Tuhan yang mengijinkan semua ini terjadi."
Si Bijak itu diam saja sampai ketika mereka bertemu dengan seseorang
yang
benar-benar jorok dan bau. Rambutnya panjang dan janggutnya seperti
tak tersentuh pisau cukur cukup lama. Kata si Bijak itu :"Anda
tidak bisa menjadi seorang tukang cukur yang baik kalau anda membiarkan
orang seperti dia hidup tanpa rambut dan janggut yang tak terurus".Merasa
tersinggung, tukang cukur itu menjawab: "Mengapa salahkan
aku atas keadaan orang itu? Aku tidak mengubahnya. Ia tidak pernah
datang ke tokoku. Saya bisa saja merapikannya dan membuat ia tampak
rupawan!" Sambil melihat dengan tenang kepada tukang cukur
itu, si Bijak itu
berkata:"Karena itu, jangan menyalahkan Tuhan karena membiarkan
orang hidup dalam kejahatan, karena Ia terus menerus mengundang
mereka untuk datang dan 'dicukur'. Alasan mengapa orang-orang
itu menjadi budak kebiasaan jahat adalah karena mereka menolak
Tuhan yang telah menyelamatkan mereka."Tukang cukur itu mengerti
maksudnya. Apakah anda juga?
Tulisan : Jamaludin Aziz
|
MENJAGA AKHLAK KEPADA
ALLAH
KH. Abdullah Gymnastiar
Mudah-mudahan Allah SWT yang Maha Mengetahui siapa diri kita
yang sebenarnya, menolong kita agar dapat mengetahui kekurangan
yang harus
diperbaiki, memberitahu jalan yang harus ditempuh dan memberikan
karunia
semangat yang terus-menerus sehingga kita tidak dikalahkan oleh
hawa nafsu.
Dan mudah-mudahan pula warisan terbaik diri kita yang dapat
diwariskan kepada keluarga, keturunan dan lingkungan adalah keindahan
akhlak
kita. Karena ternyata keislaman seseorang tidak diukur oleh hebatnya
pembicaraan. Kedudukan seseorang disisi Allah tidak juga diukur
oleh
kekuatan ibadahnya semata. Tapi semua kemuliaan seorang yang paling
benar
Islamnya, yang paling baik imannya, yang paling baik dicintai Allah,
yang
paling tinggi kedudukannya dalam pandangan Allah dan yang akan menemani
Rasulullah SAW teryata sangat khas, yaitu orang yang paling mulia
akhlaknya.
Walhasil sehebat apapun pengetahuan dan amal kita, sebanyak
apapun harta kita, setinggi apapun kedudukan kita, jikalau akhlaknya
rusak
maka tidak bernilai. Kadang kita terpesona kepada topeng duniawi,
tapi
segera sesudah tahu akhlaknya buruk, pesona pun akan pudar.
Yakinlah bahwa Rasulullah SAW diutus ke dunia ini adalah
untuk menyempurnakan akhlak. Hal ini dinyatakan sendiri oleh beliau
ketika
menjawab pertanyaan seorang sahabatnya,"Mengapa engkau diutus
ke dunia ini
ya Rasul?". Rasul menjawab,"Innamabuitsu liutamimma makarimal
akhlak"
"Sesungguhnya aku diutus ke dunia hanyalah untuk menyempurnakan
akhlak".
Sayangnya kalau kita mendengarkan kata akhlak seakan fokus
pikiran kita hanya terbentuk pada senyuman dan keramahan. Padahal
maksud
akhlak yang sebenarnya jauh melampaui sekadar senyuman dan keramahan.
Karenanya penjabaran akhlak dalam perilaku sehari-hari bukanlah
suatu hal
yang terpecah-pecah, semua terintegrasi dalam satu kesatuan utuh,
termasuk
bagaimana akhlak kita kepada Allah.
Akhlak kita kepada Allah SWT harus dipastikan benar-benar
bersih. Orang yang menjaga akhlaknya kepada Allah, hatinya benar-benar
putih
seperti putihnya air susu yang tidak pernah tercampuri apapun. Bersih
sebersih-bersihnya. Bersih keyakinannya, tidak ada sekutu lain selain
Allah.
Tidak ada satu tetes pun di hatinya meyakini kekuatan di alam semesta
ini
selain kekuatan Allah SWT sehingga ia sangat jauh dari sifat munafik.
Bagaimana sifat orang munafik itu? imam Al Ghozali
menuturkan ucapan Imam Hatim Al Ashom tentang seorang ulama shalih
ketika
mengupas perbedaan antara orang mukmin dengan orang munafik:
* Seorang mukmin senantiasa disibukkan dengan bertafakur, merenung,
mengambil pelajaran dari aneka kejadian apapun di muka bumi ini,
sementara
orang munafik disibukkan dengan ketamakan dan angan-angan kosong
terhadap
dunia ini.
* Seorang mukmin berputus asa dari siapa saja dan kepada siapa saja
kecuali hanya kepada Allah, sementara orang munafik mengharap dari
siapa
saja kecuali dari mengharap kepada Allah.
* Seorang mukmin merasa aman, tidak gentar, tidak takut oleh ancaman
siapa pun kecuali takut hanya kepada Allah karena dia yakin bahwa
apapun
yang mengancam dia adalah genggaman Allah, di lain pihak orang munafik
justru takut kepada siapa saja kecuali takut kepada Allah, naudzubillah
yang
tidak dia takuti malah Allah SWT
* Seorang mukmin menawarkan hartanya demi mempertahankan agamanya,
sementara seorang munafik menawarkan agamanya demi mempertahankan
hartanya.
* Seorang mukmin menangis karena malunya kepada Allah meskipun dia
berbuat kebajikan, sementara seorang munafik tetap tertawa meskipin
dia
berbuat keburukan.
* Seorang mukmin senang berkhalwat dengan menyendiri bermunajat
kepada
Allah, sementara seorang munafik senang berkumpul dengan bersukaria
bercampur baur dengan khalayak yang tidak ingat kepada Allah.
* Seorang mukmin ketika menanam merasa takut jikalau merusak,
sedangkan seorang munafik mencabuti seraya mengharapkan panen.
* Seorang mukmin memerintahkan dan melarang sebagai siasat dan cara
sehingga berhasil memperbaiki, larangan dan perintah seorang mukmin
adalah
upaya untuk memperbaiki sementara seorang munafik memerintah dan
melarang
demi meraih jabatan dan kedudukan sehingga dia malah merusah, naudzubillah
Ah, Sahabat. Nampak demikian jauh beda akhlak antara seorang
mukmin dengan seorang munafik. Oleh karenanya kita harus benar-benar
berusaha menjauhi perilaku-perilaku munafik seperti diuraikan diatas.
Kita
harus benar-benar mencegah diri kita untuk meyakini adanya penguasa
yang
menandingi kebesaran dan keagungan Allah. Kita harus yakin siapapun
yang
punya jabatan di dunia ini hanyalah sekadar makhluk yang hidup sebentar
dan
bakal mati. Jangan terperangah dan terpesona dengan kedudukan, pangkat
dan
jabatan sebab itu cuma tempelan sebentar saja, yang kalau tidak
hati-hati
justru itulah yang akan menghinakan dirinya.
|